Februari 25, 2013

Miras memang terlihat nikmat, tapi akibatnya lebih banyak mudharatnya dibanding manfaatnya.

Runner dan Goweser kota

“Din, masih ingat cerita pak Dhe tentang kisah hikmah yang berhubungan dengan anti miras?”

“Maksudmu kisah pemuda yang sangat religius dan menolak diajak berzina, menolak diajak membunuh anak-anak tapi akhirnya karena minum miras, maka dia melakukan semu aperbuatan yang ditolaknya itu?”

“Ya benar itu Din. Si pemuda itu dipaksa untuk memilih antara berzina dengan cewek cantik, membunuh anak-anak atau meminum miras dan akhirnya dia memilih meminum miras. Apa benar begitu Din?”

“Nah itu udah tahu bang”

“Ingin memastikan saja Din, takut salah cerita, nanti diketawain penonton. Hehehehe….”

“Memang mau ceramah dimana? Di kelurahan lagi?”

“Ah itu masalah lain Din, ini ceramah di kecamatan bersama ibu-ibu penggiat PKK di kecamatan kita”

“Ooo… masih ada ya kegiatan ibu-ibu PKK?”

“Sebenarnya bukan ibu-ibu PKK sih DIn, ini acara dari posyandu, tapi yang hadir ibu-ibu semua”

“Jadi paling ganteng dong !”

“Hahahaha… terus terakhir Din, kenapa pemuda itu memilih minum miras dibanding melakukan kejahatan…

Lihat pos aslinya 404 kata lagi

Januari 21, 2013

Khalid terdiam dan yang lainnya juga jadi terdiam. Benarkah ada korban banjir yang tetap berprasangka baik pada banjir?

Runner dan Goweser kota

“Din, mari kita berprasangka baik pada banjir Jakarta Bekasi ini”,  kata Khalid pada Udin ketika mereka bertemu.

“Lho gak ada angin gak ada hujan, kok tahu-tahu kasih nasehat mas?”

“Yang kemarin cerita di pos ronda tentang banyaknya partai dan politikus yang memanfaatkan kondisi banjir ini siapa Din?”

“Apa sudah tidak seperti itu? Bukannya politikus masih suka memanfaatkan musibah sebagai pencitraan mereka?”

“Kenyataan seperti yang Bang Udin sampaikan betul dan masih ada, tapi daripada cerita tentang hal itu, apa tidak lebih baik kita berprasangka baik pada banjir ini saja bang?”

“Wah, mas Khalid sekarang sudah bijak!”. tiba-tiba terdengar suara pak Dhe nimbrung.

“Hahaha… lagi belajar bijak pak Dhe”

“Bagus itu, kalau kita selalu merasa kurang artinya, ada sesuatu yang bisa kita kerjakan untuk menambal kekurangan itu. Jangan malu merasa kurang, karena meskipun kita diciptakan dalam ujud yang sempurna tetapi masing-masing individu mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing. Yuk kita bahas anjuran bang…

Lihat pos aslinya 759 kata lagi

Mengejar penjambret di pagi hari

November 21, 2012

Pagi ini, aku kembali mengejar penjambret. Kali ini aku sedang santai naik sepeda Heist 5.0 di seputaran Cipinang Cempedak, ketika tiba-tiba seorang gadis berteriak-teriak “MALING..MALING”

Runner dan Goweser kota

Dalam hidup ini aku dua kali mengejar penjambret. Satu kali saat tahun 70an dan sekali lagi hari ini, tepatnya pagi hari sekitar jam 05.30 pagi. Dua peristiwa pengejaran jambret yang akan sangat berkesan dalam hidupku.

Waktu itu tahun 70an, jalan KHA Dahlan Jogja sudah ramai seperti saat ini. Aku dari Kantor Pos besar menuju arah stasiun Ngabean untuk menjemput ibuku yang mengajar di MIN Ngabean. Pas di depan toko ROMA (?), kulihat seorang ibu-ibu menyeberang jalan dan berteriak-teriak “MALING..MALING” sambil menunjuk seorang pengendara sepeda motor yang melaju ke arah Ngabean.

Secara reflek akupun mengejarnya dengan kecepatan penuh. Aku tidak tahu apakah reflek ini karena aku sedang demam nonton film silat atau karena sering latihan silat, atau karena naluri pembalapku yang masih hangat-hangatnya.

Menjelang simpang empat ngabean, sepeda motor penjambret yang kukejar melambat, sehingga aku akan dengan mudah menyalipnya, meskipun aku juga tetap harus melambatkan sepeda motorku karena padatnya lalu lintas.

Lihat pos aslinya 436 kata lagi

Indahnya berbagi dan bersyukur

Desember 20, 2011

“Din, aku ini heran, gajimu kan tidak jauh beda dengan aku, tapi kok kamu bisa begitu gampang memberi uang ke orang lain ya?”

“Semua ini karena ajaran pak Dhe saja mas”

“Apa katanya?”

“Kalau kita ingin kaya, maka harus rajin sedekah”

“Wah pak Dhe ngasih ajaran kuno bin klise tuh”

“Iya sih, tapi coba kita pikir baik-baik. Selama ini rejeki yang kita dapatkan itu darimana sih? Bagaimana proses rejeki itu datang sering kita tidak memperhatikan. Kadang kita malah merasa rejeki yang datang itu bukan hadiah yang patut kita syukuri tapi suatu hal yang harus kita terima dan kalau bisa lebih dari yang sudah diterima”

“Gak bersyukur donk kalau begitu”

“Dan itulah yang paling sering kualami sebelum pak Dhe memberiku nasihat kuno bin klise itu. Boros sedekah pangkal kaya!”

“Pasti pak Dhe cerita juga tentang matematika sedekah. 10-1 bukan 9 tapi 99 ! Iya kan?”

“Nah kan sudah tahu…”

Canon G12

Sambil ngobrol Udin mengeluarkan camera dari tasnya. Sebuah camera prosumer yang masih baru. Canon G12. Mata Khalid langsung melotot melihat camera baru Udin.

“Yah, baru kemarin punya camera baru sekaramg sudah punya yang lebh baru ya?”

“Yang kemarin sering kupakai  itu bukan punyaku mas. Itu punya Redaksi majalah kita. Kalau yang ini baru punyaku mas”

“Halah Din, ngakunya camera punya majalah kantor tapi kan belum pernah kulihat camera itu dipakai oleh selain kamu kan?

“Hahahaha…. ada juga yang makai selain aku, tapi memang prosentasenya kecil. Mungkin mereka tahu aku butuh camera itu, sehingga  mereka segan meminjamnya dari tanganku”

“Terus kok beli lagi?”

“Nah yang G12 ini pemberian orang melalui orang lain”

“Aku tak paham maksud kata-katamu Din”

“Ada orang yang melihat aku masih pakai camera pocket dan dia ingin aku pakai camera prosumer”

“Terus?”

“Dia bilang ke orang lain, ini Udin dikasih camera seperti punyaku donk, masak pemimpin redaksi kok masih pakai pocket camera”

“Terus?”

“Nah kalimat dari orang itu ternyata dilaksanakan benar oleh orang lain lagi dan kemarin dia ngasih camera ini ke aku”

“Wah rejeki Din. jadi punya dua camera donk”

“Yang benar tiga mas. Masih ada satu lagi DSLR di rumah”

“Kamu itu mau kerja atau mau jadi tukang foto Din?”

“Hahahaha…. kerjanya kan motret !”

Camera G12 plus tele

Udin jadi ingat beberapa bulan lalu dia pernah berdoa ingin punya camera sendiri, sehingga bisa nyaman memakainya dan tidak harus menyerahkan cameranya jika sewaktu-waktu dipinjam oleh yang punya.

Yang agak susah diingat adalah kapan dia pernah bersedekah dengan lebih ikhlas sehingga tiba–tiba dia mendapat hadiah sebagus ini. Dipandangnya juga Ipad yang ada di mejanya. gadget yang mahal itupun didapatnya secara gratis padahal dia tidak pernah mimpi untuk membeli Ipad, karena dunia Apple sangat berbeda dengan dunia Windows yang digelutinya sampai saat ini.

“Semua sudah ada yang mengatur Din. Jalani saja kehidupan yang hanya sementara ini. Nikmati baik-baik, bersyukur dengan cara memakai hadiah yang kamu terima dengan sebaik-baiknya. Gunakan untuk hal-hal yang baik dan hindari menggunakan untuk hal-hal yang buruk”

Nasihat pak Dhe itu terus diingatnya dan Udin memang tidak ingin dia lupa akan nasihat sederhana, kuno dan klise itu. Yang kuno dan klise belum tentu tidak update dengan kondisi saat ini. Pahami maknanya dan lupakan siapa yang menyampaikannya.

Raja Gombal beraksi Istri Senang Suami bahagia

Desember 9, 2011

“Din, aku lihat istrimu tadi di pasar kok senyam senyum padaku kenapa ya?”

“Hahahaha…. aku praktekkan apa yang kamu sampaikan kemarin padaku dan kubilang kalau itu semua darimu”

“Maksudmu ilmu Raja Gombal?”

“Ya benar. Ternyata enak juga jadi Raja Gombal. Istriku puas dan akupun jadi dapat cubitan hangat darinya”

Udin dan Khalid tertawa bersama sehingga membuat Dedi jadi keheranan.

“Apa itu Raja Gombal mas Din?”, tanyanya penasaran.

“Gak pernah nonton TV ya? Itu yang tiap malam minggu”

“Gak ada TV di rumah mas, kalaupun ada pasti nyetel sinetron deh”

“Emang kenapa TV di rumah, rusak?”

“Enggak sih, tapi kubuat seolah-olah rusak. Habis mual jadinya kalau tiap hari nonton sinetron terus”

“Hahahaha…. dasar Dedi, ketua Ikatan Suami Takut Istri”

Udin duduk di samping Dedi dan mulai bicara dengan serius.

“Kelihatannya kamu juga harus ikut nasehat Bang Khalid seperti yang telah kulakukan. Kamu senang, istri juga senang, akhirnya berdua jadi senang”

“Caranya?”

“Ya jadi Raja Gombal sehari”

“Gimana itu?”

“Pertama kali kamu harus mencari suasana romantis yang bisa kau ciptakan”

“Wah aku kurang romantis nih”

“Usahakan seromantis yang kamu bisa dan kemudian tanya istrimu dengan pertanyaan sederhana seolah-olah tidak begitu penting tapi kamu harus meyakinkan istri untuk menjawabnya”

“Pertanyaannya?”

“Dik … Yanti, pernahkah kamu mengukur dalamnya laut?”

“Wah pertanyaannya kok norak gitu..”

“Tenang saja, usahakan saja istrimu menjawabnya. Anggap saja dia menjawab belum pernah ngukur, maka kamu langsung tembak dengan jurus Raja Gombal”

“……..”

“Kamu bilang begini sama dik Yantimu, makanya kamu tidak tahu seberapa dalam cintaku padamu!”

“Hahahaha… gombal asli tuh…”

“Kamu bilang lagi sama dik Yantimu, itu tadi rayuan Raja Gombal dik, mau dengar lagi?”

“Hahaha… kayaknya istriku pasti senyum kecil dan mau kalau digombali lagi tuh mas..”

“Pertanyaan kedua, tahukah kamu dik perbedaan antara ilmu matematika dengan dirimu?”

“Jawabnya?”

“Apapun jawaban dari dik Yanti, kamu bilang begini, Ilmu Matematika itu sangat sulit dipahami……., kalau kamu …….. sangat sulit dilupakan, karena hatiku sudah terlanjur terpaut padamu, Sudah nancep cep !”

“Wah istriku senang gak ya dirayu seperti ini.”

“Kalau masih belum puas, pakai senjata terakhir nih. Senjata pamungkas”

“Apa itu?”

“Bilang sama dik Yanti, bahwa ternyata yang namanya cinta itu pakai masa kadaluwarsa dan kamu sudah tahu kapan tanggal kadaluwarsa itu”

“Lho ini mau ngrayu atau ngajak putus hubungan mas?”

“Biarkan istrimu meresapi kata-katamu dan kamu dekati dia dengan sungguh-sungguh. Buat agar dia melihat padamu dan sampaikan jurus pamungkas ini dengan penuh kesungguhan. Istrimu akan tahu kamu bohong atau tidak dari sinar matamu. Kalau kamu jujur, maka malam itu akan menjadi milikmu dan dik Yanti, tapi kalau kamu tidak jujur, maka selesailah sudah permainan Raja Gombal ini”

“… apa yang harus kuucapkan mas..?”

“Bilang pada dik Yanti, tanggal kadaluwarsa itu nanti pasti akan kuukir di nisanku !”

“…………………….”

Suasana mendadak jadi hening dan akhirnya Dedi tidak bisa menahan air mata yang tiba-tiba membasahi kedua pipinya.

“Terima kasih mas Din. Ucapanmu sangat menyentuh”

Udin yang tidak mengira Dedi bisa menangis jadi serba kikuk. Ketika dia menengok ke arah Khalid, ternyata Khalid malah pura-pura tidak melihat. Rupanya Khalid juga teringat pertama kali dia mengucapkan rentetan kalimat itu pada istrinya.

“Mas Din, aku jadi sadar selama ini aku hanya sering memarahi istriku tanpa sebab yang jelas. Kenapa masalah kantor kubawa ke rumah, sementara istriku tidak pernah mengeluh meskipun aku sama sekali belum pernah membahagiakan istriku. Merayu saja aku tidak pernah, lalu dimana istriku bisa bahagia di atas kemarahan-kemarahanku?”

Udin melihat suara Dedi jadi parau dan dadanya terus berguncang menahan sesuatu yang seperti ingin keluar dari dadanya. Udinpun jadi ingat kejadian tadi malam, ketika dia melihat istrinya begitu bahagia sepanjang hidupnya. Ucapan pak Dhe kembali terngiang-ngiang di telinganya.

“Din, sangat mudah membahagiakan Istri kita, asal kita mau memperhatikannya. Istri kita hanya butuh tempat untuk menyenderkan bahu, mendengarkan kisah-kisah remeh temehnya dan tidak hanya sekedar memberinya nafkah lahir. Istri kita sangat perlu nafkah batin juga”

Tak terasa air mata ikut mengalir di pipi Udin.

Kisah Kasih SMA

September 14, 2011

“Tok, bisa ke kantin sepulang sekolah?”, ucap Ratih lirih ketika berendeng menuju ke lapangan upacara pagi ini.

Antok langsung mengangguk pelan dan Ratih langsung menjauh dari Antok begitu melihat anggukan Antok. Dewi dan Ratna langsung senyum-senyum melihat adegan sepintas yang tak tertangjkap oleh beberapa orang yang sama-sama menuju ke lapangan upacara.

Upacara hari ini ternyata berlangsung cepat dan bahkan diumumkan semua siswa boleh langsung pulang seusai upacara. Gemuruh riuh peserta upacara membuat Antok sedikit bingung. Apakah dia harus langsung ke kantin atau menunggu jam pulang sekolah yang normal.

Hatinya sudah berdetak tak keruan sejak Ratih memberikan bisikan sebelum upacara tadi.

“Bukankah semua sudah jelas? Kenapa aku harus bertemu lagi dengan Ratih?”

Terbayang di mata Antok adegan malam minggu kemarin. Sebuah vespa butut terparkir di depan rumah Ratih dan Antok kenal betul siapa empunya Vespa butut itu. Pasti Adi sedang bertamu di rumah Ratih dan ini pasti akan jadi malam minggu yang panjang buat Antok.

Kecemburuan Antok pada Adi sudah sampai ke ubun-ubun dan nampaknya Ratih sama sekali tak pernah merasakan betapa sakit hati Antok setiap melihat Ratih duduk di boncengan Adi. Kalau ada batu yang bisa dilempar, rasanya ingin sekali Antok melempar Adi dengan batu sekeras-kerasnya. Minimal menghancurkan Vespa tua yang selalu dipuji-puji oleh Ratih.

“Butakah mata Ratih dengan motorku yang jauh lebih nyaman dan lebih mahal? Bahkan kalau perlu aku bisa membawa mobil yang terparkir di garasi rumah?”, geram sekali Antok kalau melihat ujud Vespa itu.

Andai Adi satu sekolah dengan Antok, pasti sudah hancur Vespa itu dikerjain oleh teman-teman Antok yang selalu penuh rasa solider dengan Antok.

Di ketuknya pintu rumah Ratih dan bi Icah yang membukakan pintu untuk Antok. Belum sempat keluar kata dari mulut Antok, bi Icah sudah langsung nyerocos.

“Wah mas Antok terlambat. Mbak Ratih sudah menunggu dari tadi”

“Loh memang Ratih mau kemana?”, pikir Antok

“Baru saja berangkat sama Om Wildan dan anaknya tuh. Katanya mau makan malam di resto Kuring Alam atau apa gitu…”

Antok makin tidak habis pikir. Bagaimana Ratih bisa meninggalkan dia dan pergi begitu saja dengan orang yang tidak dia kenal dan tidak ada pemberitahuan sedikitpun, baik lewat telpon maupun SMS.

Waktu di sekolah tadi pagi juga rasanya tidak ada yang aneh. Semuanya berjalan seperti biasa. Pulang sekolah Ratih masih melemparkan senyum manisnya saat dia menunggu di depan pintu gerbang sekolah, seperti biasanya. Ratih sempat juga memberikan cium jauh sebelum akhirnya hilang dari pandangan Anton.

Hari Sabtu yang biasa ini tiba-tiba berubah menjadi hari yang mengerikan buat Antok. Malam minggu yang biasanya penuh canda tawa berubah menjadi penuh misteri yang serba tidak jelas.

Dikeluarkan ponselnya dan Antok jadi terkejut setengah mati ketika mencoba menelpon Ratih. Ponsel barunya ternyata dalam kondisi mati kehabisan batere. Rasanya ingin membanting ponsel baru itu. Menyesal sudah Antok mengabaikan pesan Ratih saat di kantin sekolah tadi siang.

“Batere ponselmu itu boros lho. Android kan? Ntar aku telpon gak nyambung lho kalau mati”

“Ah batere ini 1.5 kali lebih hebat kapasitasnya dibanding handphone lamaku kok”

“Oooo… aku cuma denger kabar saja, katanya batere ponselmu itu boros”

Antok tersenyum manis dan menunjukkan ponselnya di depan Ratih. “Periksa aja spesifikasinya”, kata Antok sambil menyorongkan ponselnya ke Ratih.

Malam ini, Antok baru menyesal tak terkira mendapati ponselnya mati saat sedang diperlukan.

Dengan penuh kemarahan Antok akhirnya mengarahkan motornya menuju rumah makan yang ditunjukkan bi Icah. Sepanjang jalan pikiran Antok sudah tidak bisa konsentrasi lagi. Beberapa kali Antok menyumpah-nyumpah ke sopir angkot maupun para pengguna jalan yang dianggap menghalangi jalan ke resto Kuring Alam.

Sampai akhirnya Antok lepas kendali dan melaju di perempatan yang lampu merahnya sedang nyala. Tabrakan tak bisa dihindari lagi dan kedua motor yang bertabrakan itupun sama-sama jatuh di aspal.

Pengendara motor yang ditabrak Antok langsung berdiri dan menghampiri Antok. Wajahnya terlihat berang dan siap memukul Antok yang menyerobot lampu merah. Untung perbuatannya itu dicegah oleh kawannya yang membonceng.

“Din, selesaikan baik-baik, jangan main hakim sendiri”, ucap laki-laki tua itu menentramkan emosi sang pengendara motor.

Antok langsung meminta maaf setulus-tulusnya.

“Maaf pak, aku gak sengaja. Nanti kuganti semua kerusakan motor bapak”

“Aku bisa ganti sendiri kerusakan motorku. Kamu ini anak kemarin sore, maunya ugal-ugalan saja di jalan ya?”

“Maaf pak, aku minta maaf…”

Orang-orang di sekitar kejadian terlihat membantu menepikan motor dan mengatur lalu lintas agar tidak macet. Pandangan mereka sangat tidak ramah terhadap Antok.

“Din, rasanya aku kenal yang nabrak kamu ini. Kamu adik pak Anton ya?”, ucap laki-laki tua yang membuat suasana panas jadi sedikit mereda

“Iya pak, aku adik pak Anton”, Antokpun tiba-tiba merasa kenal dengan laki-laki tua itu. Kakaknya beberapa kali menunjukkan foto laki-laki tua itu padanya.

“Yah…sudahlah Din. Sedang dapat cobaan kita ini. Ditabrak adik kepala pabrikmu”

Udin yang tadinya penuh rasa geram tiba-tiba ikut terbawa suasana, apalagi ketika dia melihat kemiripan Antok dan Anton kepala pabriknya yang sangat baik kepadanya.

“Yah…sudahlah dik. Lain kali hati-hati ya. Gak usah lapor kakakmu. nanti habis kamu dimarahin kakakmu sendiri”, Udin menepuk pundah Antok sambil menyodorkan tangan kanannya.

“Makasih pak. Saya sedang tergesa-gesa dan sedang kalut pikiran jadi tidak memperhatikan lampu sudah lama merah pak”

“Hahahaha…. dasar anak muda di malam minggu, pikirannya pasti mau pacaran saja”, Udin tertawa sambil merapihkan bajunya yang kotor dan tidak teratur akibat jatuh.

“Memang mau kemana acara malam minggunya?”

“Ke Kuring Alam pak”

“We lha kok sama ya? Hahaha….kayak adegan sinetron saja kita ini”, Udin kembali tertawa sementara pak Dhe tersenyum di belakang Udin. Merekapun akhirnya berkendara berendeng menuju ke Resto Kuring Alam.

Sampai di resto, Antok terus mengikuti Udin yang langsung menuju ke ruang VIP.

“Mana pacarmu?”, tanya Udin

“Nggak tahu pak, katanya dia disini”

“Lho kok tidak tahu?”

“Aku ikut pak Udin dan Pak Dhe saja. Nanti kalau ketemu pacarku aku pindah kursi”

Ada tiga ruangan VIP dan Udin langsung menuju ke ruang VIP paling ujung. Terlihat sudah banyak orang di ruangan itu dan pak Dhe langsung disambut meriah oleh mereka yang ada di ruang itu. Yang membuat Antok terpaku tak bisa berkata-kata adalah wajah Ratih yang ikut berada di dalam ruangan itu.

Wajah cantik itu terlihat menyimpan kemarahan dan Antok tak sanggup memandangnya. Ruangan yang riuh oleh kedatangan Udin dan Pak Dhe seperti berada di dunia lain.

“Mana Adi yang mau ke Amerika nih?”, suara keras seseorang di pintu ruang VIP membuat semua orang menoleh ke pintu VIP.

Astaga, Antok makin tidak bisa bicara lagi. Anton, kakaknya terlihat berduaan dengan istrinya berdiri di pintu yang terbuka dan belum mau masuk sebelum Adi maju menyalaminya.

Anton seperti tidak melihat Antok, walaupun Antok merasa Anton sudah melihatnya. Perlahan Antok bergeser menuju ke toilet dan akhirnya tenggelam dalam renungan panjang di toilet.

“Mas, kok lama banget di toiletnya”, suara yang dikenalnya terdengar berbarengan dengan suara ketokan di pintu toilet. Antok langsung pura-pura menyiram toilet dan keluar dari toilet.

Benar yang diduga Antok. Ada Adi berdiri di depan pintu dan dibelakangnya nampak Pak Udin.

“Oh Antok ya rupanya. Makanya tadi dicari-cari gak ada”, tersenyum Adi mecoba mencandai Antok. Tentu Antok sangat jengkel, tapi wajah Udin di belakang Adi membuat Antok tetap bisa tersenyum, meski mungkin berbentuk sebuah senyum tak ikhlas.

“Sakit perut ya?”, sapa Udin

“Iya pak. Ini acara apa sih pak, kok rame banget dan aku malah tidak tahu kalau mas Anton diundang datang”

“Hahahha… ini acara melepas anak bengal itu ke Amerika. Om Wildan datang dari Jakarta sengaja menjemput Adi eh malah Adinya main ke rumah cewek dan sampai bikin ceweknya keki tuh. Hahahaha dasar anak muda”

Antok langsung ngeloyor setelah berbasa basi sebentar dengan Udin. Langkahnya membawanya ke lapangan parkir dan langsung menuju ke tempat motornya diparkir.

“Tok, sudah lama nunggunya?”, suara lembut Ratih membuyarkan lamunan Antok

Antok tidak menjawab hanya mengangguk saja.

“Kamu kok aneh banget Tok. Telpon dimatiin, SMS gak dibales, di rumah juga ditelpon katanya kamu pergi terus entah kemana tak pernah pamit sama pembantumu atau orang tuamu”

Antok tersenyum getir. Hapenya sudah hancur dibanting di depan resto Kuring Alam. Sepanjang hari Minggu juga dia tidur di rumah dan berpesan ke pembantunya untuk berbohong, jika ada yang mencarinya. Siapapun yang mencari !

“Harusnya aku yang marah Tok, kenapa seolah-olah kamu yang berhak marah”, Ratih tiba-tiba mengeraskan suaranya. Antokpun jadi tercekat. Bukankah dia juga berhak marah?

“Sabtu sore kamu kutelepon ponselmu tidak aktif, kukirim SMS, kuceritakan kalau aku ngantar Adi sama Om Idang yang mau makan malam dengan kawan-kawannya dan mereka mengajakmu karena pak Anton, kakakmu diundang juga. Lalu apa yang terjadi?”

“……………..”

“Kamu datang bersama sahabat om Idang tanpa pernah menyapaku dan bahkan pergi begitu saja tanpa pernah pamit padaku”

Ratih tiba-tiba terisak sendiri, melihat sikap Antok yang diam seribu bahasa.

“Aku ingin mengenalkan kamu dengan Om Idang, orang yang dulu paling dekat dengan aku dan yang saking sibuknya tidak pernah punya waktu lagi untukku. Aku sudah berhasil membujuk Om Idang melalui Adi untuk mengadakan acara makan malam, sekalian perpisahan dengan Adi yang mau ke Amerika, tapi apa yang kudapat?”

Antok tiba-tiba merasa ada yang aneh mendengar cerita Ratih.

“Om Idang itu Om Wildan?”, tanya Antok lirih

“Iya memang kenapa?”

“Astaghfirullah!”, Antokpun memukul kepalanya sendiri. Menyadari kebodohannya. Tangannya baru berhenti memukul ketika tangan Ratih mencegahnya.

“Kamu gila ya?”, tanya Ratih

“Ya aku gila. Aku cemburu dengan Adi dan aku tidak tahu kalau Om Idang yang kamu ceritakan itu adalah Om Wildan ayahnya Adi”,

Beban yang selama ini begitu menyiksa Antok seperti hilang begitu saja. Kenapa harus cemburu dengan Adi, kalau dia adalah saudara Ratih. Kemesraan Adi pada Ratih telah membutakan mata Antok, padahal sebenarnya itu hanyalah kedekatan persaudaraan di antara mereka saja.

Ratihpun melongo melihat kelakuan Antok yang tak bisa dipahaminya.

Kisah Kasih SMA

+++

Gambar dari FB Film PAA, bukan gambar Antok dan Ratih.

Aku benar-benar Frustasi !

September 14, 2011

“Pak Dhe. Aku sudah kehabisan kesabaran. Kelihatannya aku harus menunjukkan gigiku pada Anton kepala Pabrik”, ucap Udin begitu melihat pak Dhe menghampirinya di kantin yang sedang kosong.

“Memang kenapa?”, tanya pak Dhe sambil menyunggingkan senyumnya dan menarik sebuah kursi ke dekat Udin

“Pak Anton benar-benar sudah keterlaluan pak Dhe”

“Hmm…ceritakan…”

“Aku kemarin disuruh membuat perencanaan untuk mesin baru yang akan datang dua minggu lagi. Padahal perencanaan itu sudah lama kubuat dan kulihat sudah mulai dijalankan oleh bagian lain, tetapi kenapa dia minta disain ulang dan yang lebih parah sampulnya harus berwarna pink!”

“……………”

“Aku dengan sabar mencoba mengikutinya. Kutulis ulang semua perencanaanku dan kuserahkan pada dia. Apa dia bilang?”

“Apa dia bilang..?”

“Kalau perencanaan ini sama dengan yang sudah dibuat Udin bulan lalu, lebih baik dibakar saja dokumen ini. Begitu katanya. Ya ampun, memang harus dibuat bagaimana lagi?”

“Jangan-jangan perencanaanmu memang ada kelemahannya Din?”

“Dibaca saja tidak bagaimana dia tahu ada kelemahan dari perencanaanku?”

“Bagaimana kamu tahu kalau perencanaanmu itu tidak dibaca Pak Anton?”

“Memang tidak. Aku tahu dari asisten Anton minggu lalu”

“Ah…jangan terlalu percaya berita yang datang tidak dari sumber aslinya”

“Masih ada lagi yang lebih bikin panas hati ini”

“Apa itu?”

“Aku diperintahkan membuat perencanaan dengan sampul pink dan kucetak dengan model draft, karena aku tidak tahu dengan pasti apa yang dimaui Anton. Terus apa dia bilang?”

“Apa?”

“Kok warnanya jelek begini, ini draft ya? Memang kamu gak percaya diri, sampai membuat perencanaan di depanku masih dalam bentuk draft!”

“…terus…”

“Dia mengambil dokumen perencanaanku dan langsung memasukkan ke mesin penghancur kertas. Apa tidak mendidih darahku dibuatnya pak Dhe?”

“Kenapa harus sampai mendidih darahmu?”

“Kemarin jelas-jelas dia bilang padaku, Din kamu buat draft dulu, jangan langsung percaya diri dan dibuat final. Aku perlu periksa dulu dokumennya. Begitu katanya pak Dhe…”

“Hahahaha….. jangan-jangan kamu memang salah dengar Din…”

“Pak Dhe tidak percaya padaku?”

“Tidak !”

Udin tercenung mendengar ucapan pak Dhe. Seseorang yang begitu dihormatinya ternyata ikut-ikutan tidak mendukung apa yang dia ucapkan. Sungguh sebuah pukulan telak bagi Udin.

“Udahlah Din, kalau salah ngaku salah saja, kenapa harus bercerita bohong pada semua orang”,

Udin ingin mendelik di depan pak Dhe, tapi memandang senyum pak Dhe, terpaksa dia urungkan lagi. Terlalu banyak budi pak Dhe padanya, dan dia tidak mau merusaknya dengan sebuah pandangan yang akan menyakiti persahabatan ini.

Mendadak Udin melihat seseorang masuk ke kantin dan Wati petugas kantin langsung menyambut orang itu.

“Silahkan pak Anton, tumben mau datang lagi ke kantin”

“Hahaha… sudah kangen sama Watik nih. Wah ada pak Dhe dan Udin disini, yang lainnya pada kemana? Kok sepi?”

“Sedang menyembelih sapi di samping mushola, pak Anton. Paling sebentar lagi pada kesini, pak Dhe saja sudah disini, berarti sudah selesai acara disana”

Pak Dhe berdiri menyambut kedatangan Anton, begitu juga Udin. Meski terlihat terpaksa, Udin mengulurkan juga tangannya kepada Pak Anton, sang kepala Pabrik.

“Aku mau cerita pak Dhe. Mau dengar?”, ucap Anton seperti biasa dengan suara yang menggelegar.

“Silahkan pak Anton”

“Begini, aku akan pergi ke Jepang sekitar dua bulan dan nanti ada penggantiku selama aku pergi, namanya Toshiro Mifune”

“Kok kayak nama bintang film Jepang?”

“Tunggu ceritaku selesai dulu pak Dhe”

“……………”

“Dia hebat di perencanaan, tapi punya kebiasaan yang kurang baik. Sombong, gila kerja dan suka marah=marah plus mabuk sake”

“…………… ”

“Aku terus terang khawatir dengan pabrik ini kalau ditangani olehnya. Jadi aku harus memastikan pabrik ini baik-baik saja selama aku pergi”

“…………… ”

“Beberapa hari ini aku berperan sebagai dia dan seperti yang kuduga, banyak staf disini yang frustasi dengan sikap baruku ini”

“…………….”

“Hari ini aku sudah bulat tekad untuk membatalkan kepergianku ke Jepang dan pabrik ini akan berjalan seperti biasa lagi”

“Kok begitu keputusannya pak”, tiba-tiba Udin menyela.

“Ya gimana lagi. Kamu juga frustasi kan dengan sikapku?”, balas Anton sambil menatap mata Udin.

“Astaghfirullah, benar yang pak Anton sampaikan. Aku sangat frustasi dan hari ini juga aku sudah kehabisan kata sabar dalam hatiku. Aku sudah bertekad untuk pindah kerja ke pabrik lain kalau pak Anton masih seperti ini”

“Jadi kenapa menahan keputusanku?”

“Masalahnya yang ada dalam benakku adalah pak Anton yang baik hati dan penuh pengertian, bukan kopian dari Mister Toshiro Mifune yang sangat mnejengkelkan”

“Memang berani menghadapi Toshiro Mifune?”

“Aku pernah menghadapi yang lebih menjengkelkan pak”

“Hahahaha…. sayang sekali keputusanku sudah bulat. Aku batalkan kepergianku dan aku menyuruh staf berprestasi disini untuk menggantikan aku. Dia nanti yang akan pergi ke Jepang dan menjadi staf Mister Toshiro di Jepang sana selama dua bulan”

“Jadi mister Toshiro tidak jadi kesini dan pak Anton malah menugaskan orang lain untuk pergi?”

“Ya benar. kenapa?”

“Maafkan aku pak Anton, demi pabrik ini sebaiknya pak Anton tetap pergi saja”

“Surat penugasan sudah kuteken dan sebentar lagi pasti akan terkirim ke Jepang”

“Jadi siapa yang akan pergi menggantikan pak Anton ke Jepang?”, tiba-tiba pak Dhe menyela pembicaraan

“Sudah kupustuskan Udin yang akan pergi ke Jepang pak Dhe”

“Ha? Kenapa aku pak Anton?”, Udin kaget setengah mati mendengar ucapan Anton.

“Karena kamu termasuk yang lulus dari kebiasaan jelek Mister Toshiro”

Telinga Udin seperti tak berfungsi lagi. Tak ada yang bisa dia dengar dari mulut Pak Anton maupun Pak Dhe yang bercerita ngalor ngidul, yang dia bayangkan hanya istrinya yang sangat ingin ke Jepang sementara itu justru dia yang ditugaskan ke Jepang. Dua bulan tidak bertemu istri dan dia berada di suatu tempat yang sangat ingin didatangi istrinya. Rasanya Udin tak sanggup melakukannya.

Bersamaan dengan itu, kantin tiba-tiba menjadi ramai dengan kedatangan beberapa orang. Mereka langsung mendatangi Udin dan menyalaminya.

“Selamat ya Din, jadi juga ke Jepang berduaan ya…”

Udin jadi mengernyitkan keningnya. bagaimana semua orang bisa tahu dia akan ke Jepang sementara dia sendiri baru saja tahu. Berduaan? Bukankah pak Anton tidak menyebut berduaan? Perlahan Udin memalingkan mukanya ke Pak Anton, seperti akan menanyakan sesuatu untuk memastikan apa yang disampaikan oleh teman-temannya.

“Khalid dan Udin yang pergi ke Jepang”, seperti tahu apa yang belum terucap dari mulut Udin, Pak Anton langsung menjawabmua dengan sebuah kalimat yang makin membuat Udin bingung.

“Ya benar Din, yang menemanimu nanti adalah Khalid dari bagian Produksi. Silahkan ajak istri masing-masing selama dua bulan berbulan madu sambil kerja di Jepang”

Ucapan Anton membuat kaki Udin gemetar dan tanpa disadarinya tubuhnya ikut bergerak dan bersujud mensyukuri nikmat Tuhan yang begitu tiba-tiba dari arah yang benar-benar tidak diduga-duga Udin.

Hari ini Tuhan kembali mewujudkan mimpi hambaNya yang selalu berbaik sangka pada semua yang dia terima.

+++

sumber gambar : Microsoft ClipArt

Kecewa Berat !

September 14, 2011

“Terus terang aku kecewa berat dengan sistem pembagian bonus kali ini”

“Memang kenapa? Bukannya kita harus bersyukur dengan adanya pembagian bonus ini?”

“Mengapa harus bersyukur kalau kita didholimi seperti ini?”

“Astaghfirullah, darimana ketemu cerita seperti itu?”

“Lihat saja apa yang sudah kita kerjakan untuk pabrik ini. Semua berjalan lebih hebat dari yang direncanakan. Semua target terlampaui dan permintaan pasar terus meningkat. Coba apa artinya semua kesuksesan kita itu?”

“Artinya ya kita hari ini dapat bonus yang tidak kusangka-sangka”

“Kamu puas Din?”

“Iya jelas mas. Hari-hari ini benar-benar hidupku berlimpah bonus. Semua datang dari berbagai penjuru dan semuanya tidak pernah kusangka-sangka datang di hari-hari belakangan ini. Sungguh aku malu dengan diriku yang sering kurang mensyukuri nikmat Tuhan”

“Din, kamu tidak lihat betapa kita dikerjai oleh bos kita?”

“Dikerjai apanya mas? Dapat bonus kok dibilang dikerjain”

“Ah..kamu susah diajak ngomong Din. Berapa milyard keuntungan yang bisa didapatkan pabrik ini dan berapa yang kita terima? Bukankah itu sangat tidak imbang?”

“Ah..menurutku imbang kok. Dua kali gaji sudah lebih dari cukup mas, belum lagi rejeki dari warung nasiku yang tiba-tiba kelarisan tanpa sebab yang jelas. Anak-anakku yang mendapat bea siswa di sekolah, istriku yang mendapat arisan dan bingkisan dari Koh Bing gara-gara aku menolong proses persalinan istrinya. Semuanya itu terlalu banyak buatku dan alhamdulillah aku telah mensucikan semua itu dengan zakat yang kulebihkan sedikit”

“Dasar kamu Din, susah diajak ngomong…”

Udin masih tertawa-tawa ketika Samidi meninggalkannya. Rasanya hari ini Udin merasa masih akan menerima rejeki lagi yang lebih hebat dibanding rejeki yang dia terima akhir-akhir ini. Seharian ini dia aktif sholat sunah dan tadarus sampai mulutnya berbusa.

doa

“Assalamu’alaikum Din..”

“Wa’alaikum salam pak Dhe. Dicari Samidi tadi pak Dhe”

“Hahahaha…pasti masalah ketidak puasan akan bonus yang diterima”

“Benar pak Dhe. Dia tampak gusar dan kecewa berat dengan bonus yang diterimanya. Padahal sebagai seorang pejabat keuangan di pabrik ini pastinya dia menerima lebih besar dari kita. Iya kan Pak Dhe?”

“Benar. Pak Samidi pasti menerima dua atau tiga kali lipat dibanding kita”.

“Nah, kalau kita merasa sudah berlebih menerimanya, maka mestinya pak Samidi lebih bersyukur dibanding kita. Iya kan Pak Dhe? Tapi kok kulihat pak Samidi malah kecewa ya?”

“Memang aneh kalau dipikir Din. Rejeki sebesar ini lebih baik memang kita syukuri, langsung kita bersihkan dengan zakat. Kita harus berterima kasih pada para panitia zakat yang mau membantu menyakurkan rejeki kita”

“Kalau sehabis menerima rejeki terus kita jadi rajin beribadah, apa diperbolehkan?”

“Yah sebaiknya memang meningkatkan ibadah, tapi jangan sampai terjerumus dalam kesenangan dunia. Ibadah jadi tidak khusyuk karena mengharapkan rejeki materi dan bukan mengharapkan kasih Tuhan”

“………………….”

“Jangan sampai mulut kita berbuih membaca Kitab Allah, tapi pikirannya ke rejeki materi dan bukan ke arti kalam Illahi yang kita baca”

“Astaghfirullah…”, dalam hati Udin merasa ditelanjangi oleh Pak Dhe. Semua ucapan pak Dhe sanagt cocok dengan kondisi dirinya saat ini. Bukankah dia jadi rajin membaca kitab Allah karen amengharap  rejeki materi dan bukan karena ingin mendekatkan diri pada Tuhan.

“Aku pernah cerita tentang menanam padi hasilny apadi dan rumput kan?”

“Iya pak Dhe. Menanam rumput hasilnya rumput saja dan tidak ada padi yang bisa kita panen.”

“Itulah Din. Kadang kita mementingkan materi tapi berharap akhirat”

Udin termenung meresapi dialognya dengan pak Dhe. Untung ada pak Dhe yang mengingatkan dia secara tidak langsung. Padahal semua yang dikatakan pak Dhe, Udin sudah paham benar, tapi karena situasinya cocok, maka ucapan pak Dhe membuat Udin kembali terpekur. Dipegangnya tangan pak Dhe erat-erat, tapi tak ada kata yangkeluar dari mulutnya.

Belum sempat Udin menyampaikan ucapannya, ponselnya berbunyi dan dilihatnya nama pemanggil di layar ponselnya.

“Dari pak Samidi pak Dhe”, kata Udin sambil menekan tombol hijau di ponselnya.

“Salam lekum pak Samidi. Ada apa?”

“……………………”

“Gak ada ponsel ketinggalan disini pak”, berkerut dahi Udin ketika menjawab telepon dahi Udin. Sesekali terlihat udin menghela nafas, di lain saat terlihat Udin seperti ingin marah, tapi pada akhir pembicaraan telepon, terlihat Udin malah tersenyum meski agak kecut.

“Lalu nikmat Tuhan yang mana lagi yang kita dustakan?”, ucap Udin begitu selesai bertelpon dengan Pak Samidi.

Kembali Udin menggenggam erat tangan Pak Dhe, sambil berkata, “benar kata pak Dhe. Aku kurang bersyukur dan demikian juga pak Samidi. Baru saja dia telepon kalau ponsel barunya hilang, padahal itu adalah ponsel termahal saat ini dan dibelinya dengan uang bonus yang tidak disyukurinya”

“Maha benar Allah dalam segala firmanNya”, lirih pak Dhe berucap sambil membalas jabat erat Udin.

“Pak Dhe aku jadi ingat nasehat pak Anton”

“Apa itu?”

“Jangan pernah kecewa dengan sebuah pemberian Allah karena kita tidak pernah tahu mana yang paling baik bagi kita. Yang kita anggap baik belum tentu baik untuk kita, jadi jangan pernah kecewa, apalagi sampai Kecewa berat !”

“Hahahaha……”, berdua mereka menuju mushola. Suara adzan memanggil mereka untuk berdiskusi dengan Tuhan mereka.

masjid+++

Gambar dimodifikasi dari Clipart Microsoft

Kisah sebuah tali slink

Maret 12, 2011

Alhamdulillah, saya akhirnya bisa ketemu pak De. Sudah lama sekali peristiwanya tapi semoga pak De masih ingat”

Pak Dhe agak kaget juga ketika menerima ucapan dari seseorang yang seperti pernah dikenalnya tetapi lupa dimana bertemunya. Genggaman yang sangat erat dari tamunya membuat pak Dhe makin yakin pernah bertemu, tetapi tetap lupa dimana pernah bertemu dengan tamunya ini.

Udin yang datang mendampingi sang tamu juga membuat pak Dhe makin heran. Tidak biasanya Udin mau menemani orang yang tidak dikenalnya ke rumah.

“Silahkan masuk pak, silahkan duduk..”, dengan penuh basa basi pak Dhe mempersilahkan kedua tamunya masuk dan merapikan taplak meja sebelum tamunya duduk.

Jam di dinding menunjukkan pukul 20.00 tepat, biasanya pada jam-jam ini pak Dhe sudah menutup pintu rumah dan bersiap-siap ngobrol dengan istri tercinta tentang apa saja yang terjadi di hari ini sambil siap-siap menuju ke alam mimpi.

“Kalau pak De lupa dengan saya wajar saja, karena saat itu kita hanya sempat bertemu beberapa menit saja. Waktu itu tengah malam sudah lewat dan kita bertemu di tengah persawahan di daerah kaki gunung Seulawah…”

“Kapan ya? Seulawah?”

“Iya benar pak Dhe. Kita bertemu di kaki gunung Seulawah. Pak Dhe bawa truk ukuran sedang, yang penuh dengan muatan sembako.”

“Hmmm…ya, lalu?”

“Lalu pak Dhe berhenti ketika aku melambaikan tangan. Sebelumnya banyak sekali kendaraan yang lewat, tapi hanya pak Dhe yang mau berhenti, padahal waktu itu kecepatam truk pak Dhe ada di gigi cepat”

“Terus…?”

“Terus pak Dhe bertanya padaku, ada apa kok berdiri di pinggir jalan yang sepi. Kujawab, mobil yang kutumpangi terperosok masuk sawah gara-gara sopirnya mengantuk”

“…..”

Sementara sang tamu terus bercerita, Pak Dhe malah jadi ingat peristiwa beberapa tahun silam, saat dia masih remaja. Sepeda motornya yang melaju kencang berhenti mendadak pas ketika ada seorang anak kecil yang menyeberang jalan. Sepeda motor Pak Dhe langsung selip dan akhirnya setelah berputar berbalik arah menabrak tiang listrik dan berhenti dengan sempurna.

Jeritan seorang ibu muda terdengar bersamaan dengan deritan ban sepeda motor yang menggesek aspal. Jalanan yang sepi mendadak menjadi ramai karena semua orang keluar dari rumah dan memperhatikan seorang anak kecil yang berdiri di tengah jalan yang sunyi dan pak Dhe yang terduduk setelah sepeda motornya berhenti karena menabrak tiang listrik.

Semua orang mengira pak Dhe telah menghindari menabrak anak kecil dan akhirnya memilih menabrak tiang listrik, padahal pak Dhe sama sekali tidak melihat anak kecil itu berlari menyeberang jalan karena pikirannya justru berada di tempat lain.

Kalaulah sepeda motornya berhenti dan akhirnya menabrak tiang listrik, bukan karena Pak Dhe menginjak rem, meskipun suara yang terdengar sebelum menabrak adalah suara deritan ban berhenti berputar bergesek dengan jalan aspal.

Rantai sepeda motornya lepas dan masuk ke jeruji roda sepeda motor, sehingga roda sepeda motornya berhenti berputar dan sepeda motor selip menabrak tiang listrik.

Pak Dhe baru saja mengalami kekecewaan karena pacarnya selingkuh dan memacu sepeda motornya tanpa menghiraukan pengguna lalu lintas lainnya. Tuhan telah menyentilnya dengan melepas rantai sepeda motornya dan itulah titik balik pak Dhe yang biasanya mau menang sendiri.

Pandangan mata penuh terima kasih dari seorang ibu muda yang merasa anaknya terselamatkan dari bahaya tertabrak sepeda motor membuat pak Dhe makin merasa bersalah.

Tiba-tiba lamunan pak Dhe buyar ketika tangannya digamit oleh Udin.

“Maaf pak Dhe, aku mau ke warung sebelah dulu, nanti balik lagi…”

“Oh ya.. ya silahkan, balik boleh tidak balik juga tidak apa Din, hahahaha….”

Pak Dhe mencoba mencairkan suasana, sehingga tamunya menjadi lebih rileks.

“Sudah ingat pak Dhe?”

“Ya..ya…ya… sudah ingat. Saat itu bulan puasa menjelang minggu terakhir puasa ya?”

“Benar pak Dhe, waktu itu kita mau pulang kampung dan malah terkena musibah itu”

Suasanapun akhirnya benar-benar cair. Pembicaraan dari dua orang yang baru bertemu sekali dan bertemu lagi beberapa tahun kemudian ternyata bisa hangat dan penuh canda ria. Memang bukan pak Dhe kalau tidak bisa membuat suasana menjadi cair.

“Jadi sebenarnya saya jauh-jauh datang kesini ini hanya mau mengembalikan tali slink milik pak Dhe yang dipakai untuk menarik mobil dari persawahan”

“Hahahaha…..aku benar-benar kecarian waktu itu. Aku sampai tertawa sendiri saking bodohnya”

“Hahahahaha…maaf pak Dhe saya juga tidak mungkin mengejar pak Dhe yang ngebut, sementara saya harus segera tiba di kota untuk menyelesaikan tugas penting dan kemudian meneruskan perjalanan mudik ke kampung. Kenapa pak Dhe bisa ada disitu pada saat sangat dibutuhkan ya ?”

“Hahahaha… aku sekarang ingat betul kejadiannya. Waktu itu aku benar-benar seperti kena sial. Mobil bosku masuk ke persawahan dan bos menelpon aku untuk membawa truk lengkap dengan tali slink untuk memgeluarkan mobilnya dari persawahan. Ternyata yang kutolong malah orang lain, begitu sampai di tempat mobil bosku terperosok, aku malah tidak bisa menarik mobilnya karena tidak membawa tali slink”

Astaghfirullah… Jadi begitu kejadiannya ya pak Dhe?”

“Benar, begitulah kejadiannya. Waktu itu sebenarnya aku berhenti karena hal lain bukan karena mau menolong menarik mobil dari sawah”

“Karena hal lain apa pak Dhe?”

“Aku mau buang air kecil, pas menepi ternyata malah ketemu sampeyan, hahahaha… ngamuk deh bosku waktu itu…”

“Wah maaf banget pak Dhe, kalau ternyata begitu kejadiannya”

“Tidak apa-apa, semua itu sudah lama berlalu, bosku juga memahami kelalaianku dan meski bersungut-sungut dia tetap baik padaku”

Keduanya sempat terdiam beberapa saat. Pak Dhe kembali mengenang kejadian lucu itu sementara itu tamu pak Dhe merasa sedikit serba salah.

“Sebenarnya begini pak Dhe. maksud kedatangan saya kesisini, selain mengembalikan tali slink adalah untuk memberikan hadiah buat pak Dhe”

“Kenapa harus ada hadiah? Cukuplah itu menjadi cerita kita bertiga saja. Itu hanya kejadian beberapa menit saja. Aku berhenti, memasanag tali slink, menarik mobil keluar dari sawah dan kemudian melepas tali slink, menggulungnya dan lupa memasukkan ke mobil truk karena harus buang air kecil dulu”

“Kejadiannya sebenarnya cukup rumit pak Dhe, tapi aku mau menceritakannya secara singkat dan to the point saja. Waktu itu aku sudah hampir putus asa, sehingga sudah memberi kabar ke kota bahwa aku tidak akan bisa sampai kota tepat waktu bahkan mungkin akan sangat terlambat sampai di kota”

“……………….”

“Aku berikan kuasaku untuk melakukan beberapa hal penting pada asistenku dan aku bersyukur bahwa akhirnya aku datang tepat waktu, sehingga semua pekerjaan yang telah dikerjakan oleh asistenku bisa kuperbaiki”

“…………….”

“Aku tidak tahu kenapa asistenku bisa melakukan pekerjaan yang sangat salah dan kalau aku tidak datang tepat waktu, maka aku yakin tidak akan bisa punya kedudukan seperti saat ini. Waktu itu juga aku ingin memecat asistenku karena kesalahan besarnya, tapi aku ingat beberapa kalimat yang pak Dhe sampaikan di saat kita berdua mengikatkan tali slink ke mobil.  Selalulah berserah diri pada Tuhan, karena semua yang kita terima ini sebenarnya adalah karuniaNya semata. Coba kita lihat kenikmatan Tuhan selama ini, lalu nikmat apa lagi yang kamu dustakan?”

“hmmm …………”

“Itulah titik balik karirku pak Dhe dan untuk itulah aku ingin memberikan hadiah buat pak Dhe”

Pak Dhe sedikit mengernyitkan kening ketika ada kata “pemberian hadiah” berkaitan dengan masalah tali slink ini.

“Kukira hadiah buatku adalah suatu hal yang berlebihan, aku tidak bisa menerimanya. Cukup tali slink saja yang kuterima, tapi tidak untuk hadiah”

Pak Dhepun kembali teringat pada pandangan ibu anak kecil yang hampir ditabraknya. Sungguh kejadiannya mirip benar dengan kejadian waktu itu. Pandangan penuh terima kasih pada pak Dhe yang tidak perlu diberi terima kasih.

“Sungguh pak Dhe, aku dan keluargaku akan sangat mengahargai kalau pak Dhe mau menerima hadiah ini. Aku sudah berunding dengan istriku dan justru istriku yang punya ide ini”

“Jawabku tetap tidak, itu semua sudah ditakdirkan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, aku hanya perantara dan aku ingin menjadi perantara yang baik. Cukuplah hadiah dari Tuhan untukku”

Pembicaraanpun jadi seru, karena keduanya saling ngotot untuk mempertahankan keiginannya masing-masing, sampai akhirnya pak Dhe tidak bisa lagi mengelak karena sudah kehabisan kata-kata untuk meyakinkan tamunya.

“Terima kasih pak Dhe yang mau menerima hadiahku. Mas Udin juga sudah kita kasih hadiah”

“Udin?”

“Ya mas Udin. Berkat info dari mas Udin, kita dapat menemukan pak Dhe. Syukur juga pak Dhe pernah menceritakan kisah ini pada mas Udin, sehingga ketika mas Udin membaca ceritaku dia langsung mengontak aku dan memberikan alamat pak Dhe”

“Hehehehe…rupanya sudah menjadi rejeki Udin ya”

Jabat erat mewarnai perpisahan pak Dhe dengan tamunya. Udin masuk kemudian ketika tamu pak Dhe sudah keluar dari rumah pak Dhe.

“Beres pak Dhe? Luar biasa orang itu. Mau berbagi hadiah gara-gara tali slink yang sepele”

Pak Dhe tersenyum mendengar ucapan Udin. Diserahkannya selembar cek pada Udin sambil berkata, “Din, tolong sampaikan pada panti asuhan bu Yanti ya”

“Lho ini hadiah dari pak yang itu tadi ya?”

“Ya hadiah untuk panti asuhan bu Yanti”

“Bukannya untuk pak Dhe. Wouw besar sekali angkanya pak Dhe…”

“Semoga bermanfaat buat panti asuhan bu Yanti..”

“Amin”

“Amin”

Udin keluar dari rumah pak Dhe dengan penuh suka cita dan sedikit tanda tanya, sementara pak Dhe merasa telah melakukan sesuatu yang benar.

“Terlalu banyak nikmat yang sudah kuterima, aku hampir lupa dengan ucapanku sendiri. Nikmat mana lagi yang kamu dustakan?”, ucap pak Dhe di dalam hatinya.

Sukses Menutup Usaha

Maret 2, 2011

Pagi-pagi sehabis subuh, mas Naryo sudah menunggu pak Dhe yang biasanya lewat gang Kancil sepulang dari masjid. Mereka sering bertemu di gang ini, sehingga mas naryo hafal betul dengan kebiasaan pak Dhe.

Benar juga dari jauh sudah terlihat sosk pak Dhe yang berjalan tidak terlalu cepat tapi jelas tidak berjalan santai. Itu memang ciri khas pak Dhe kalau berjalan di pagi hari. Kadang terlihat pak Dhe seperti setengah berlari kalau melewati jalan yang penuh dengan pepohonan hijau.

“Selamat pagi pak Dhe”, sapa mas Naryo sambil mengulurkan tangannya.

“Selamat pagi mas Naryo”, jabat erat mewarnai pertemuan pagi hari yang cerah ini.

“Mau ke gereja mas?”, sapa pak Dhe sambil terus menggegam erat tangan mas naryo dan sedikit meremasnya. Ini juga gaya khas pak Dhe kalau bersalaman dengan orang yang dikenalnya dengan baik.

“Enggak pak Dhe. Hehehe…kalau hari Minggu baru ke gereja”

“Oooo iya ya… ini bukan hari Minggu. Kok nggak biasanya, ada apa?”

Mas Naryopun kemudian melepas jabat erat dengan pak Dhe dan mulai bercerita tentang usaha warung sotonya. Sudah tiga bulan mas Naryo menggeluti usaha warung soto dan hasilnya terlihat kurang menggembirakan, sehingga beberapa kali mas Naryo berdiskusi dengan pak Dhe membahas bisnis warung sotonya.

Pak Dhepun ingat beberapa hari lalu mas Naryo tergopoh-gopoh datang ke rumahnya saat malam mulai mendekati tengah malam. Waktu itu mas Naryo bercerita tentang warungnya yang kadang ramai dan kadang sepi.

Pak Dhepun dengan sabar mendengarkan dan memberikan nasehatnya. Ada tiga nasehat yang diberikan pak Dhe pada mas Naryo waktu itu.

  1. Usaha soto kita belum banyak dikenal, karena memang baru buka, jadi gunakan saat warung sepi untuk meningkatkan promosi.
  2. Memberikan harga khusus untuk ibu2 yang melakukan kegiatan (misalnya senam) di sekitar warung, karena omongan ibu-ibu ini akan menjadi promosi yang luar biasa.
  3. Aktif di kegiatan komunitas yang bisa membuat usaha kit ajadi lebih dikenal.

Mas Naryo waktu itu terlihat manggut-manggut dan siap melaksanakan semua nasehat pak Dhe, sehingga pertemuan di pagi hari ini membuat pak Dhe juga antusias. Pak Dhe ingin mendengar hasil dari nasehatnya.

“Pak Dhe masih ingat nasehat yang diberikan beberapa hari lalu, saat malam-malam?”

“Tiga nasehat yang penuh mukjizat itu ya?”, pak Dhe mencoba menanggapi sambil bercanda.

“Bukan yang itu pak Dhe. Nasehat terakhir ketika pak Dhe menyalami di pagar pintu”

“Hmmm….apa ya?”

“Wah pak Dhe kok malah lupa. Padahal itu yang kuingat dan kupraktekkan kemarin dengan sukses”

“Hehehehe…mas Naryo ingatkan aku donk”

Mas Naryo jadi ngakak sendiri melihat tingkah pak Dhe yang dia juga tidak tahu apakah pak Dhe ini pura-pura lupa atau ingin penegasan dari mas Naryo lagi.

“Waktu itu pak Dhe bilang, mas Naryo jangan takut untuk selalu berbaik sangka pada Tuhan. Meskipun Tuhan kita berbeda, karena agama kita lain, tetapi sesungguhnya berbaik sangka itu sangat perlu dilakukan…”

“Terus aku bilang apa lagi…?”

“Kemudian kutanya pada pak Dhe, apa maksud kalimat itu dan pak Dhe menjawab, …dengan berbaik sangka, maka hati kita akan menjadi jernih dan keputusan akan lebih enak dijalankan. Sesungguhnya hati itulah komandan kita”

“Terus?”

“Nah kemarin hatiku sudah bulat untuk menutup usaha warung soto mas Naryo dan semua perlengkapan warung juga sudah sukses dijual sebagai barang second di pasar Babe (barang bekas)”

Pak Dhe terdiam mendengar penuturan mas Naryo yang terus berlanjut seperti kereta api tanpa masinis. Mas Naryo terus bercerita tentang hari kemarin saat dia seharian menjual semua barang-barang yang ada di warungnya.

“Sekarang warung itu sudah bersih dari semua barang yang berhubungan dengan soto pak Dhe”

“………..”

“Jadi sudah kupasang papan nama baru di warung itu”

“Oooo…..”

Pak Dhe kembali ingat beberapa bulan lalu ketika dia datang ke warung mas Naryo saat pembukaan warung sotonya. Waktu itu terlihat mas Naryo sangat antusias dalam membuka warungnya. Perlengkapan warung sotony ameskipun bukan barang baru tapi dicat ulang dan cukup memadai untuk sebuah warung soto yang baru buka.

Masih terbayang betapa sigapnya mas Naryo melayani beberapa pembeli, karena ternyata pada hari pertama berjualan soto, justru para penjaga warungnya malah tidak datang alias mengundurkan diri, termasuk kokinya, sehingga istri mas Naryo sendiri yang menjadi koki.

Pikiran pak Dhe belum bisa menerima, kenapa mas Naryo malah menutup usahanya, padahal pak Dhe sudah memberikan tiga nasehat yang biasanya sangat ampuh untuk membuat usaha yang sepi menjadi ramai lagi.

“Mas Naryo masih ingat tiga nasehat yang kuberikan saat kit amasih di dalam ruang tamu dan bukan di pagar halaman rumah?”, penasaran pak Dhe menyela cerita mas Naryo tentang papan nama barunya.

“Ah itu tentu ingat pak Dhe. Semua orang juga tahu. Aku pernah baca nasehat seperti itu ketika searching di internet”

“Terus nasehat itu mas Naryo jalankan atau tidak?”

“Aku lebih suka nasehat pak Dhe yang di pagar kok, jadi aku lupakan tiga nasehat itu”

Saat pak Dhe masih penasaran terdengar dering ponsel milik Mas Naryo. Dengan sigap mas Naryo melihat siapa yang menelpon pagi-pagi seperti ini dan kemudian memencet tombol hijau di ponselnya.

“Maaf pak Dhe aku terima telepon dulu ya…”

Tanpa menunggu jawaban pak Dhe, mas Naryo langsung nyerocos di ponselnya.

“Tiket Anda disini, ini dengan mas Naryo, ada yang bisa dibantu mbak Dian?”

Meski lirih terdengar suara cewek di seberang ponsel mas Naryo. Pak Dhe dengan sabar menunggu pembicaraan selesai sambil mengamati betapa seangatnya mas Naryo menerima panggilan dari cewek di seberang telepon itu. Di akhir pembicaraan, terlihat senyum mengembang di bibir mas Naryo.

“Oke mbak, sebentar lagi saya kabari. Terima kasih telah menghubungi Tiket Anda”

“Telepon dari mana mas?”

“Dari mbak Dian. Mahadewiku pak Dhe. Kemarin dulu aku menghadap beliau dan bisa meyakinkan beliau bahwa kalau beli tiket pesawat lewat aku, maka ada sedikit yang kusisihkan ke panti asuhan dan tadi dia pesan tiket untuk rombongan kantornya yang akan pergi ke Lombok

“Itu mbak Dian yang ditabrak sepeda motor saat dia naik mobil, tidak bawa STNK dan yang kemudian mas Naryo bantu saat berurusan di kantor polisi dulu itu?”

“Benar pak Dhe. Aku pamit dulu pak Dhe, jangan lupa datang ya di acara launching bisnis baruku nanti malam”

Mas naryo mengulurkan tangannya, menjabat erat tangan Pak Dhe sebentar dan langsung berjalan cepat menuju rumahnya meninggalkan pak Dhe yang termenung sendiri memikirkan kesuksesan mas Naryo menutup usahanya dan langsung membuka usaha baru di keesokan harinya.

Rupanya “hati” memang telah menjadi komandan mas Naryo.